PRESS RELEASE 1
SEGERA TERBIT
NOVEL KONTROVERSIAL
“DEMI ALLAH, AKU JADI TERORIS”
“Demi Allah, Aku Jadi Teroris” merupakan sebuah novel fiksi yang
ditulis oleh Damien Dematra, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama,
dan akan beredar pada tanggal 9 Desember 2009. Novel ini berisi
perjalanan seorang mahasiswi kedokteran yang cantik dan lugu,
Kemala, yang mencari Allah, namun di tengah perjalanan tersesatkan.
Ia mencapai sebuah titik di mana ia percaya bahwa apa pun yang
dilakukannya, bahkan tindakan kriminal sekalipun, dilakukannya demi
keyakinannya. Ia kemudian diperhadapkan dengan Prakasa, seorang agen
anti-terorisme berhati dingin, yang dalam penyamarannya mendapati
bahwa kebekuan hatinya dapat mencair, sampai kemudian nyawa mereka
menjadi taruhan.
Novel ini tidak bermaksud menyudutkan pihak manapun ataupun agama
apa pun, karena sekalipun merupakan potongan dari berbagai kisah
kehidupan nyata, cerita ini tetap dirangkai dalam sebuah tatanan
fiksi, yang bertujuan mengetuk pintu kesadaran masyarakat, bahwa
kita semua, tanpa terkecuali, dapat tergelincir dalam sebuah
persepsi yang membahayakan, bukan saja diri sendiri, namun juga
orang lain. Selain itu, kisah ini juga bertujuan mengedepankan
nilai-nilai indah dan harmonis dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu
kerukunan dan perdamaian bagi seluruh umat manusia, serta menjunjung
harkat dan martabat manusia—bahwa tidak ada pembenaran atas
pembunuhan masal, apalagi yang mengatasnamakan Tuhan, atas landasan
keyakinan apa pun.
Novel “Demi Allah, Aku Jadi Teroris” ini lahir dari gagasan tentang
kepedulian pada perdamaian di tengah masyarakat Indonesia yang
majemuk pada khususnya, dan masyarakat dunia, pada umumnya, dan
ditulis dalam sebuah bahasa ringan yang mudah dicerna, dengan
menekankan tujuan akhir dari cerita itu sendiri. Novel ini akan
segera difilmkan, dengan penulis skenario dan sutradara Damien
Dematra, dan pada saat ini sedang dalam tahap casting.
Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, guru bangsa dan mantan Ketua Umum
Muhammadiyah, mengatakan sebagai seorang novelis dan sutradara yang
telah lama malang-melintang dalam dunia perfilman, Bung Damien kali
ini memasuki sebuah dunia yang sangat menakutkan: terorisme. Tetapi
pesan moral yang hendak disampaikan adalah agar Tuhan tidak dibajak
untuk membenarkan tindakan keji dan biadab. Agama dalam hal ini
Islam adalah agama perdamaian dan kemanusiaan, sekalipun oleh
sekelompok kecil pemeluknya telah disalahgunakan. Sedangkan menurut
Prof. Dr. Azyumardi Azra, cendekiawan muslim dan Direktur Sekolah
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, para pembaca dibawa
ke dalam proses yang kompleks bagaimana seseorang (dalam hal ini
Kemala) menjadi teroris. Menjadi teroris tidak hanya merupakan
proses intensifikasi keagamaan bisa misleading, tetapi juga
melibatkan pengalaman fisik dan psikologis yang traumatis. Dan
bahkan juga melibatkan cinta. Novel ini seolah-olah membawa kita ke
dalam realitas terorisme atas nama agama di sekitar kita, yang dalam
dasawarsa terakhir marak di berbagai tempat di dunia. Ia mengucapkan
selamat atas novel yang timely ini. Menurut Nasir Abas, mantan
pimpinan Jamaah Islamiyah, cerita ini adalah cerita yang menarik
untuk kalangan remaja yang sedang mencari jati diri Islamiy dan
kisah yang menjadi pelajaran dalam menghindari kesesatan paham yang
hanya didasari oleh semangat dan amarah yang tidak terkendali.
Walhasil, kesadaran yang muncul dari diri sendiri dan kecintaan yang
murni dari lubuk hati yang dalam terhadap Islam, membawa perubahan
yang positif. Dr. Abdul Mu’ti, PP Muhammadiyah dan Direktur
Eksekutif Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCCO)
berpendapat bahwa dengan membaca novel ini akan merasakan kisah
hidup yang sangat manusiawi, kisah cinta yang romantis di tengah
perbedaan tajam dua insan, Prakasa dan Kemala. Dengan bahasa yang
lugas, mudah dicerna dan mengalir, pembaca akan kecanduan membaca
novel ini dari sampul depan sampai kata terakhir. Maria Ulfah Anshor,
Ketua Umum PP Fatayat Nahdlatul Ulama, mengatakan bahwa novel ini
bagus, dan meskipun kisah fiktif tetapi ending-nya mampu
mengantarkan memori kita pada tindak kejahatan teroris yang telah
melukai rasa kemanusiaan kita dan menghancurkan para korbannya di
beberapa tempat di negeri tercinta dan di belahan bumi lainnya.
Menarik..! Ada spirit di dalamnya untuk mengkampanyekan gerakan anti
terorism. Menurut Pdt. Erick J. Barus, Sekretaris Eksekutif Bidang
Marturia dan Interfaith PGI, pesan yang terkandung dalam novel ini
sangat penting diketahui masyarakat Indonesia yang dewasa ini sedang
dilanda ketidakamanan karena ancaman teror atas nama agama. Ia yakin
bahwa umat kristiani memahami bahwa islam agama anti teror, membawa
pesan perdamaian, dan mengutip kesan Romo Benny Susetyo, Sekretaris
Eksekutif Komisi . HAK, KWI , novel ini memberi sebuah gambaran
kepada kita semua bahwa motivasi agama kerapkali dijadikan
pembenaran oleh mereka yang memiliki kepentingan-kepentingan politik
jangka pendek yang menghancurkan kemanusiaan. Motivasi agama tanpa
didasari rasionalitas akan membawa umat beragama terjebak oleh
idiom-idiom keagamaan namun realitasnya penuh dengan kepalsuan. Ia
berharap dengan membaca novel ini kita disadarkan pentingnya
beragama yang substansial. Budi S. Tanuwibowo, Majelis Tinggi Agama
Kong Hu Cu Indonesia, berkomentar bahwa batas cinta dan benci sering
teramat tipis. Demikian juga batas damai dan kekerasan. Sedemikian
tipisnya sehingga seseorang bisa berubah dalam sekejap. Dari cinta
menjadi benci. Dari lembut menjadi kejam. Demikian sebaliknya. Novel
ini mengisahkan proses rekrutmen dan latar belakang terorisme.
Meskipun fiksi, setidaknya Penulis mencoba menggambarkan salah satu
penyebab, akar permasalahan, dan cara menanggulanginya, sedangkan
Drs. Nyoman Udayana Sangging, SH,MM, Ketua V Bidang Penelitian dan
Pengembangan Parisada Hindu Darma Indonesia, Pusat, menyimpulkan
bahwa kisah ini menceritakan hubungan dua remaja yang memiliki dunia
yang berbeda. Kemala sangat tegar dengan pandangannya sendiri untuk
sebuah cita-cita yang terbentuk sebagai akibat lingkungannya untuk
melaksanakan cita-cita kelompoknya “menyatakan paling benar”.
Perjalanan dan perjuangan hidupnya telah mengubahnya. Kehadiran
Prakasa dengan membawa “cinta buat Kemala” dan korban-korban yang
tidak dikehendaki oleh agamanya, telah mengubahnya menjadi seorang
pengajar untuk semua orang, bahwa agama yang diyakininya, Islam,
adalah agama yang damai. Prof. Dr. Sarlito W. Sarwono, Guru Besar
Fakultas Psikologi, Universitras Indonesia, berpendapat bahwa
radikalisme bagaikan narkoba. Sekali sudah terlibat, akan sulit
keluar lagi. Selain itu, faktor penyebab bukan hanya trauma atau
frustasi, tetapi lebih penting lagi tekanan sosial dari teman dan
lingkungan, dan buku ini membeberkan semua itu. Ustadz Reza Syarief,
MA, MBA, rohaniawan dan motivator, mengatakan bahwa buku ini bukan
buku SEADANYA ATAU MENGADA-ADA tapi benar-benar BUKU YANG LEBIH DARI
ADANYA, dan ia menyarankan untuk membaca novel ini 3x. Pertama,
untuk eksplorasi emosi pada setiap setting cerita dan tokohnya.
Kedua, untuk memahami sebagai cerita yang utuh. Ketiga, untuk
membuka kesadaran. Damien Dematra, menurutnya, adalah penulis 3
dimensi, menulis dengan otot, otak, dan hati. Ray Sahetapy, aktor,
berpendapat bahwa keberanian memilih tema maupun judul membuat
Damien menjadi seorang penulis berkarakter dan menjanjikan bagi kita
demi mencairnya nilai-nilai ketakutan yang membatu di masyarakat. Ia
berharap semoga novel ini dapat dibaca dan bermanfaat bagi umat di
seluruh pelosok nusantara.
Dalam perjalanannya, penulis juga menerima beberapa kritikan, antara
lain dari K.H M al Khaththath, Sekjen FUI, yang mengatakan bahwa
novel ini cukup menarik, namun aroma propagandanya terasa dipaksakan.
Misalnya, adalah tidak pas ketika mengidentifikasi kelompok perekrut
dengan uang administrasi hijrah sebagai kelompok pengembom.
Menurutnya itu adalah kelompok berbeda dan tidak ada sambungan. Dan
kedua kelompok tersebut sampai hari ini ditengarai adalah hasil
operasi intelijen. Novel ini menyimpulkan bahwa keadaan sekarang
yang sangat sekuler, jauh dari syariah, tidak perlu diubah dan tidak
perlu dipertanyakan lagi kebenarn dan kebaikannya, sudah final, dan
Islam yang rahmatan lil alamin yang disampaikan tidak jelas
implementasinya. Ia berkomentar pada penulis bahwa ada di masyarakat
upaya-upaya mengubah sistem sekuler kepada sistem syariah yang tidak
terkait dengan kelompok terkontaminasi tersebut. Tapi
kelompok-kelompok yang benar ini justru jadi sasaran propaganda agar
tidak dapat dukungan umat. Sadar atau tidak novel ini terjebak dalam
arus propaganda war on terorism yang sejatinya adalah war on Islam.
Farihin, Anggota Jama’ah Islamiyah, alumni Akademi Militer
Afganistan tahun 1990, berkomentar novel ini adalah cerita fiksi
yang membuang-buang waktu. Sesungguhnya Dienul Islam mengajarkan
amar ma’ruf nahy mungkar. Kalau dalam melaksanakan salah sasaran
bukan berarti secara otomatis menjadi teroris. Seorang Bush bisa
membunuh ribuan orang di Afganistan tapi tidak pernah dibilang
teroris. Sedangkan menurut Jibril, alumni Akademi Militer Afganistan
thn 1987, kesadaran moral dalam novel ini sangat penting dibaca oleh
remaja umumnya, dan tidak bisa dinikmati sebagian remaja yg telah
banyak memahami islam yg sesungguhnya. Judul novel ini menarik dan
penasaran orang untuk memilikinya, namun bagi sebagian orang taniat
jihad (mujahien/mujahidahy) novel ini bisa dibaca tapi sulit merubah
keyakinan yang pernah ada. “ Demi Allah aku jadi teroris” (sumpah)
dan bisa jadi nanti Kemala yang sesungguhnya tidak akan pernah ada.
Seluruh komentar, endorsement, pujian, maupun kritikan diterima
dengan lapang dada oleh penulis dalam koridor keharmonisasian
kebebasan dalam mengungkapkan pendapat demi mencapai satu tujuan
akhir: perdamaian.
Tentang Penulis
Damien Dematra adalah seorang novelis, penulis skenario, sutradara,
produser, fotografer internasional, dan pelukis. Ia telah menulis 41
buah novel dalam bahasa Inggris dan Indonesia, 50 skenario film dan
TV series, dan memproduksi 26 film dalam berbagai genre. Sebagai
fotografer, ia meraih berbagai puluhan penghargaan internasional, di
antaranya International Master Photographer of the Year. Damien
Dematra juga telah menghasilkan 365 karya lukis dalam waktu 1 tahun.
Selain Demi Allah, Aku Jadi Teroris, novel-novel lain yang telah
diterbitkan di Indonesia adalah: Soulmate-Belahan Jiwa, Angels of
Death-Kumpulan Kisah Malaikat Maut, If Only I Could Hear-Kisah Suara
Hati. Dua buah novel yang menggunakan nama lain adalah: Tarian Maut
(Katyana) dan Ku Tak Dapat Jalan Sendiri (Mark Andrew).
Novel-novel baru karya Damien Dematra yang akan segera diterbitkan
Gramedia adalah: Tuhan, Jangan Pisahkan Kami—sebuah kisah perjuangan
seorang gadis melawan penyakit lupus, yang rencananya akan menjadi
film produksi tercepat rekor MURI, dan Ternyata Aku Sudah Islam—terinspirasi
kisah nyata pimpinan grup musik DEBU, yang filmnya sedang digarap
oleh Damien Dematra.
Untuk informasi selengkapnya, wawancara, atau foto cover novel,
dapat menghubungi:
Damien Dematra: damiendematra@gmail.com
|